JAKARTA-Proyek pabrik peleburan (smelter) alumina di Kalimantan Timur, yang merupakan bagian dari megaproyek senilai US$5 miliar, direncanakan dibangun mulai Oktober 2012.
Rencana peletakan batu pertama proyek itu disampaikan oleh Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak di sela-sela Indonesia International Infrastructure Conference and Exhibition 2012 di Jakarta, Selasa (28/8).
"Sekarang [investor] sedang melakukan pembebasan lahan. Saya usulkan peletakan batu pertama oleh Presiden. Tadi Pak PreÂÂsiden janji Oktober," ujarnya.
Megaproyek senilai US$5 miliar itu terdiri dari pembangunan rel kereta api sepanjang 130 kilometer, terminal batu bara, pembangkit listrik 1.250 MW, serta pabrik peleburan alumina.
Menurut Awang, infrastruktur di Kaltim sudah sangat siap menyambut kehadiran smelter pertama di provinsi itu.
"Semuanya sudah siap. Investornya juga akan membangun pembangkit listrik 1.250 MW. Investor itu dari Uni Emirat Arab, yang bekerja sama dengan Nalco dari India, saya sudah tandatangan MoU dengan mereka," ujarnya.
Pembangunan rel kereta api sepanjang 130 km dari Lubuk Tutung hingga Maloy di Kaltim akan dilakukan oleh Rhas Al Khaima, investor UEA. Rel kereta api itu akan mendukung ketersediaan sumber energi dalam bentuk batu bara.
Realisasi proyek itu sejalan dengan program penghiliran industri tambang yang dicanangkan oleh pemerintah. Secara keseluruhan, pemerintah telah menerima 185 proposal pembangunan smelter baru di Indonesia. Saat ini, sudah ada tujuh smelter yang beroperasi.
Tidak Realistis
Menurut pakar pertambangan Bambang Setiawan yang juga mantan Dirjen Minerba ESDM, Indonesia tidak membutuhkan smelter hingga ratusan. Menurutnya, rencana itu diajukan oleh perusahaan tambang hanya untuk memenuhi syarat agar mereka masih bisa mengekspor bijih logam.
"Yang ratusan ini banyak bohongnya, tidak mungkin segitu, tidak masuk akal karena terlalu banyak. Siapa juga yang mau meminjamkan uangnya [untuk investasi]? Mereka cuma kasih planning supaya masih bisa ekspor. Tapi dari ratusan itu pasti ada yang serius," ujarnya di sela-sela acara yang sama.
Bambang mengatakan ide pemerintah menggalakkan smelter sebenarnya bagus. Namun, kondisi di lapangan juga harus diperhatikan karena smelter memerlukan kesiapan infrastruktur, utamanya pasokan listrik.
"Listrik itu paling banyak berada di Jawa. Kalau di situ, minimal masalah energinya terpecahkan. Di Jawa kalau mau bikin smelter, ibaratnya tinggal nyolok. Kalau mau di luar Jawa, biaya melonjak. Tapi kadang ada ego sektoral daerah, tidak mau smelternya di Jawa. Ini akan tarik-tarikan terus," ujar Bambang.
Kementerian ESDM sebelumnya menegaskan pembangunan fasilitas pengolahan produk mineral atau smelter di Indonesia akan berdasarkan sistem klaster dan memfokuskan lokasi di kawasan timur Indonesia.
Dirjen Minerba Kementerian ESDM Thamrin Sihite mengatakan pembangunan smelter harus mempertimbangkan dua hal, yakni lokasi cadangan mineral dan pasokan energi. “Keduanya banyak terdapat di KTI," katanya.
Dia mengatakan Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian terus membahas peta jalan industri smelter nasional agar dari sisi hulu dan hilir bisa terintegrasi.
Selain Nalco, investor lain juga serius membangun smelter mineral di sejumlah daerah.
PT Indosmelt, misalnya, akan membangun smelter tembaga di Maros, Sulawesi Selatan, dengan investasi US$700 juta.
M. Natsir Mansyur, Presiden Direktur Indosmelt, menuturkan perusahaannya sudah mengantongi izin prinsip penanaman modal untuk pembangunan smelter tembaga dan menyiapkan rancang bangun proyek tersebut.
"Pada 2012-2013, proyek itu masih tahap desain dan perencanaan, sedangkan smelternya akan dibangun pada 2014-2016. Setelah itu baru berproduksi secara komersial," katanya belum lama ini.
Berdasarkan jenis produksinya, kata Natsir, Indosmelt akan memproduksi katoda tembaga, asam sulfat, terak tembaga, dan lumpur anoda. Masing-masing fasilitas memiliki kapasitas produksi yang berbeda.
PALING TERBARU